Published Jumat, Oktober 12, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Obrolan Siang Menjelang Sore Tadi

Siang menjelang sore tadi, tiba-tiba seorang teman menghubungiku via dm instagram. Katanya dia mau cerita sesuatu, yang setelah aku tanya mau cerita apa malah berbelok jadi mau sharing-sharing aja. Mau ngobrol-ngobol sedikit gitu katanya. Awalnya kami ngobrol-ngobrol biasa. Soal sekarang jadinya menetap dimana, soal rencana ke depannya bakal gimana, dan lain sebagainya yang sebenarnya sudah pernah kami obrolin beberapa bulan kemarin. Sampai akhirnya di empat-lima pertanyaan itu, tiba-tiba temanku itu mulai menceritakan titik masalah yang sebenarnya ingin dia ceritain ke aku. Di situ aku agak sedikit mikir yang kayak, "duh X, mau cerita aja pembukaannya sampai banyak banget gitu" wkwk. Tapi ya kalau aku jadi dia mungkin juga bakal ngalor-ngidul kemana-mana dulu sih saking bingungnya memulai curhatan tuh gimana, hehe.

Lanjut. Jadi di situ dia cerita yang pada intinya dia sedang galau akan sesuatu. Aku tidak akan menceritakan apa isi ceritanya sih, kan itu rahasia kami berdua kan ya. Eh bertiga ding, sama Allah. Tapi ada beberapa hal yang pengen aku share dari obrolan aku dan temanku itu. Bukan sepenuhnya tentang obrolan kami sih, tapi sebagian kesimpulan yang mungkin jadi permasalahan bagi beberapa perempuan yang baru menikah (Hannan sok tahu banget wkwk). Ya intinya gitu deh. Aku mulai saja, ya. Bismillah.

***

Fulltime Wife/Mother
Yang pertama adalah soal keinginan kita sebagai perempuan untuk bekerja, tetapi tidak diperbolehkan oleh calon/pak suami. Nah beberapa tahun ke belakang, aku sering banget ngelihat beberapa storygram atau update-an timeline/blog tentang orang-orang yang tiba-tiba ngerasa galau karena dia pengen kerja, tetapi nggak dibolehin sama suaminya. Katanya suaminya pengen dia jadi fulltime wife, yang selanjutnya bisa jadi fulltime mother. Bahkan kegalauan ini juga udah mulai muncul dari awal pas mau menikah atau sewaktu masa-masa taaruf. Jadi kayak misal ada dua orang yang sudah saling suka, sudah satu visi dan misi, tapi berbeda pendapat di soal 'bekerja' ini. Terus salah satunya jadi galau, deh. Atau juga, yang galau karena tiba-tiba jadi pengen kerja meskipun di awal sebelum menikah sudah saling sepakat bahwa yang bekerja di keluarga hanyalah si pak suami saja.
Sebenarnya permasalahan ini sebagiannya pernah dialami oleh teman dekatku sendiri. Yaitu soal yang meski dari sebelum menikah sudah saling sepakat bahwa yang bekerja di keluarga hanyalah pak suami, tetapi tiba-tiba di tengah jalan sang istri jadi pengen kerja gitu. Subhanallah. Lalu jadinya gimana? Mereka banyak beratemnya? Iya. Mereka jadi sering diskusi meski terakhir-terakhirnya jadi saling ngambek-ngambekan. Sang suami yang tetap kekeuh dengan prinsipnya bahwa ia ingin istrinya tidak bekerja kantoran, alias kerjanya ya di rumah saja mengurusi suami, anak, dan rumah; sedangkan sang istri masih terus-terusan merengek agar diperbolehkan melamar pekerjaan karena ingin sekali bekerja dengan berbagai macam alasan.
Dan dulu sewaktu aku masih bekerja di sebuah startup, seorang temanku pernah bilang kalau dia ingin punya istri yang tidak bekerja, alias full mengurusi permasalahan rumah tangga. Alasannya karena biar dia saja yang mencari nafkah, karena dia tau bagaimana susah dan beratnya dunia kerja itu. Dan sewaktu aku bilang kalau mungkin beberapa pekerjaan saja yang keras, tapi ada beberapa pekerjaan yang sebenarnya tidak terlalu berat, dia tetep kekeuh dengan prinsipnya itu. Katanya lagi, justru dia berharap dengan tidak bekerjanya istrinya itu, dia jadi lebih termotivasi untuk bekerja lebih giat lagi. Sekaligus juga biar kalau dia lagi jenuh dengan pekerjaannya itu, dia jadi ingat kalau di rumah ada keluarganya yang sudah mempercayakan seluruh kebutuhan hidupnya kepadanya. Jadi penyemangat gitu istilahnya. Kan, dia yang sudah melarang istrinya itu untuk bekerja. Berarti, dia jadi bertanggungjawab dan tidak boleh gampang menyerah kan?
Atau juga temanku yang lain, yang katanya masih memperbolehkan istrinya itu untuk bekerja, asal tidak banyak menyita waktunya. Seperti misalnya berjualan secara online atau membuka toko sendiri di rumah, menjadi guru atau dosen yang katanya masih lebih banyak waktu dan lebih agak santai kerjanya, atau mengerjakan pekerjaan yang bisa menyalurkan hobinya. Kayak misal menulis, menjahit, mendekor rumah, atau membuat prakarya begitu. Asal tidak menjadikan pekerjaan itu sebagai kegiatan primer, melainkan hanya hobi yang dilakukan di sela-sela hari-harinya. Begitu katanya. Apalagi kan, mereka juga mungkin takut ya misalnya suami dan istri sama-sama bekerja, sama-sama capek, terus pas pulang dari kantornya masing-masing pengen ngelihat raut wajah yang ceria penuh senyuman gitu buat membangkitkan semangatnya, eh yang dilihat malah muka kusut capek bete karena misal kerjaannya banyak atau berat waktu di kantor. Kan, bisa jadi sumber masalah tersendiri gitu. Hmm. Lah terus, dengan kedua cerita di atas, kita sebagai seorang istri harus bagaimana dong?
Nah, kalau menurutku, dari kedua cerita temanku di atas itu bisa ditarik kesimpulan―terlepas dari ada orang yang membebaskan istrinya untuk menjadi wanita karir, karena itu tidak masuk hitunganbahwa ada laki-laki yang sama sekali tidak memperbolehkan istrinya bekerja karena merasa dirinya masih sanggup untuk memenuhi semua kebutuhan istrinya itu, dan ada juga laki-laki yang masih memperbolehkan istrinya untuk bekerja, tapi kerjaannya itu tidak boleh sesuatu yang membebani atau kalau bisa cuma sebagai penyalur hobi saja. Dan kedua prinsip itu Insya Allah tidak ada yang salah, karena tentunya mereka memiliki alasan-alasan tersendiri mengapa mereka sampai berpikiran seperti itu. Tentu kita sebagai seorang istri, kewajiban kita adalah patuh kepada suami kan? Apalagi jika itu tidak melanggar perintah Allah, maka tidak ada alasan untuk kita tidak patuh kepada perintah suami kan?
Mungkin kita bisa saja memaksa untuk tetap bekerja yang pada akhirnya suami jadi memperbolehkan meski tidak begitu ikhlas. Terus, kalau iya kita sudah bekerja tapi suami sebenarnya tidak ridho, apa pekerjaan kita itu akan membawa berkah? Atau justru membawa celaka? Astaghfirullah... Hmm, ya jadi intinya sih, setiap suami pasti memiliki alasan tersendiri mengapa mereka melarang sesuatu kepada istrinya. Dan kita sebagai istri mereka, harus selalu patuh kepada suami. Toh, ketika sudah menikah, ridho Allah ada pada ridho suami, bukan? :)

Mengisi Waktu Luang
Yang kedua adalah soal mengisi waktu luang saat sudah menikah. Melanjutkan permasalahan sebelumnya, tidak sedikit perempuan yang merasa bingung dan bertanya-tanya soal jika nantinya sudah menikah dan tidak diperbolehkan bekerja, nanti di rumah mau melakukan kegiatan apa? Yang mungkin ujung-ujungnya jadi takut kalau-kalau nanti sehari-harinya jadi bosan atau bingung mau ngapain karena nggak ada kegiatan, nggak kayak sewaktu masih single dulu. Apalagi misalnya dia dulu adalah seorang aktivis ataupun wanita karir yang sehari-harinya lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dari pagi sampai malam. Kan kalau sudah terbiasa berkegiatan gitu dan setelah menikah malah terus-terusan di rumah seharian kan bisa badmood juga kan ya, hehe.
Nah kalau soal ini, menurutku justru istri-istri yang tidak diperbolehkan bekerja itu malah jadi punya banyak kelebihan loh. Maksudnya kayak justru dengan banyaknya waktu luang yang dimiliki, kita jadi lebih bisa menyalurkan hobi yang mungkin dulu-dulu terpendam karena adanya kesibukan kuliah atau kantor misalnya. Contohnya kayak mungkin aku itu suka membaca novel. Dulu rasanya sewaktu kerja itu menyelesaikan satu novel aja agak susah dan nggak tenang karena dikejar-kejar deadline terus. Atau kalopun lagi nggak ada deadline, sampai kosan itu sudah capek karena seharian berkegiatan di kantor. Nah dengan adanya banyak waktu luang yang sekarang ini, aku jadi bisa banyak menghabiskan waktu untuk membaca.
Atau mungkin buat yang hobinya suka ngegambar, jadi bisa iseng-iseng bikin gambar yang bertemakan dakwah gitu misalnya. Atau juga yang kayak sebelumnya aku sebutin, suka mendekorasi rumah yang perabotannya dibuat jadi lucu-lucu; ngebikin prakarya kayak misalnya bikin buket bunga, gantungan kunci, dll; menjahit, berjualan, menulis, dan lain sebagainya. Pokoknya menghabiskan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, yang bisa dilakukan di rumah. Apalagi hal-hal yang bermanfaat itu merupakan hobi kita. Bersyukur nggak tuh jadinya?

Memiliki Penghasilan Sendiri
Yang terakhir adalah soal ingin memiliki penghasilan sendiri. Aku sering banget denger cerita beberapa temanku yang sudah menikah, lalu ada beberapa barang yang pengen dibeli atau keinginan-keinginan lainnya yang membutuhkan biaya yang cukup besar, namun merasa tidak enakan gitu untuk meminta kepada suaminya. Atau juga soal teman-temanku yang ingin bekerja dan memiliki penghasilan sendiri karena biar bebas kalau mau ngasih ngejajanin adik-adiknya, sekaligus biar dianya juga bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang menurutnya tidak sedikit biayanya. Meskipun mungkin suami-suami mereka juga tidak mempermasalahkan hal itu, yang dalam arti sebenarnya kalau emang butuh atau ingin sesuatu ya tinggal bilang saja, Insya Allah akan dituruti. Atau juga yang kalau mau ngasih jajan ke adik-adik atau orang tua ya tinggal kasih-kasih saja. Tapi, tetap ngerasa nggak bebas karena harus minta-minta ke suami.
Nah sebenarnya untuk hal yang ini, aku juga kadang ngerasain sih gimana rasa nggak enakannya itu. Tapi balik lagi, kita kan sudah menjadi istri. Kewajiban kita adalah nurut sama suami. Dengan suami melarang kita untuk bekerja dan bilang kalau kita mau apa saja atau misal ingin ngasih apa ke keluarga tinggal bilang aja, berarti tandanya mereka merasa bahwa mereka sanggup memenuhi seluruh kebutuhan kita kan? Malah seharusnya kita bersyukur, karena kita memiliki suami yang berani menjamin nafkah lahir batin kita disaat di luar sana masih ada perempuan-perempuan yang terpaksa harus bekerja untuk keluarganya.
Dan kalaupun memang masih kekeuh ingin memiliki penghasilan sendiri, ya kayak kesimpulan yang sebelumnya. Misal kita punya hobi menjahit, hasil jahitan-jahitannya itu siapa tahu bisa dijual. Atau misal membuka berjualan dengan membuka toko di rumah atau bikin online shop gitu, dan lain sebagainya. Setidaknya walaupun mungkin penghasilannya tidak sebesar kerja di kantoran, yang penting tetap ada penghasilan sendiri tanpa harus melawan suami. Toh, rezeki sudah ada yang mengatur kan? Barangkali dengan kita patuh dengan suami, Allah jadi lebih mengalirkan rezekinya kepada pak suami sehingga benar-benar bisa memenuhi seluruh kebutuhan kita tanpa kurang satu hal pun.

***

Hannan sok paling tahu sekali ya, tulisannya sampai panjang begitu :') Hehe. Tapi inti dari tiga hal di atas sebenarnya satu sih, yaitu: nurut dengan suami, selama itu adalah hal yang baik. Jadi kayak misal ada beberapa orang yang bilang, "loh sekolah tinggi-tinggi kok ujung-ujungnya kerja di dapur juga?" ya nggak apa-apa. Dengan kita kuliah tinggi-tinggi begitu, kita jadi mengajarkan ke anak-anak kita bahwa pendidikan itu penting. Ada loh orang yang kuliahnya sampai S3 tapi beliau sama sekali tidak bekerja dan benar-benar full mengurusi keluarganya. Padahal beliau menyelesaikan S3-nya itu ketika sudah punya anak 4. Masya Allah. Terus beliau ngeluh meski dicibir begitu oleh orang lain? Ya enggak. Justru beliau itu pengen nunjukkin ke anak-anaknya, kalau mengejar ilmu ya memang harus semaksimal mungkin.

Toh juga, misal kayak aku yang dulu sewaktu single sering mengeluh dan ngerasa berat waktu banyak kerjaan, kok ya masa waktu menikah malah jadi maksa buat kerja lagi? Kayak yang, sekarang aja pengen, nanti capek malah ngeluh lagi wkwk. Ya gitu. Kan malah seharusnya bersyukur kan, kita jadi nggak perlu capek-capek kerja di luar. Cuma di rumah aja nurut sama suami dan mengurusi keluarga, eh sudah bisa terpenuhi semua kebutuhannya. Berpahala lagi. Bisa sambil ngegunain waktu luangnya juga buat menyalurkan hobi dan menambah pengetahuan. Alhamdulillah banget kan? Pokoknya ya, nggak perlu meragukan kesanggupan suami untuk memenuhi kebutuhan kita deh. Dan juga, daripada malah kita jadi menghabiskan waktu kita untuk melakukan hal-hal rutin yang sebenarnya kita tidak suka gitu kan? Masa udah nggak suka, ada tekanan, resiko, waktu dan tenaga yang terkuras juga lagi, hehe.

Ya kecuali misal kerjaan itu adalah hal yang kita suka, sih. Cuma ya tadi, harus sesuai jalurnya. Tidak boleh menjadi aktivitas primer, alias sebatas kayak hobi yang dilakuin di waktu luang aja. Dan sekali lagi, ini terlepas dari kalau memang suaminya memperbolehkan untuk bekerja ya... Soalnya aku saja, yang baru sehari-harinya mengurus rumah dan suami kadang-kadang gampang ngerasain capek. Apalagi misal nantinya kalau Allah memberi amanah untuk mengurus anak? Wah, udah nggak kebayang lagi itu kalau iya juga kekeuh mau kerja, hehe. Apalagi kalau misal kerjanya cuma dilandasin sama alasan tidak mau dicibir sama orang, makin nggak berkah itu nantinya karena mungkin bisa jadi banyak ngeluhnya, huhu.

Wallahu a'lam bish-shawab. Semoga tidak terkesan menggurui atau sok tahu.

***

Tadi sewaktu di akhir obrolanku dengan temanku itu, dia mengirimi kalimat seperti ini. Padahal sewaktu membalas curhatannya itu aku malah jadi banyak curhat baliknya, tapi Alhamdulillah kalau ternyata curhatanku itu justru sedikit membantu. Soalnya waktu habis curhat panjang-panjang aku juga ngerasa takut, takut ternyata bukannya membantu malah dianya jadi sebel karena kok malah akunya yang jadi banyak cerita disaat dia bilang mau cerita ke aku.

Tapi aku juga jadi bersyukur, dari obrolan siang menjelang sore tadi, aku jadi nemuin orang yang mungkin setipe sama aku. Dari soal apa yang dipikirin, dialamin, sampai yang bener-bener kayak kita punya cerita dan nasib yang sama. Masya Allah.

Terima kasih Ya Allah :' Akhirnya aku punya teman yang bisa diajak diskusi soal apa yang aku alamin selama ini. Soalnya selama ini aku agak takut gitu buat cerita sama orang lain, karena merasa sudah harus punya batasan dari apa yang bisa diceritakan :')



Purbalingga, 12 Oktober 2018
Alhamdulillah aku bisa menulis sepanjang ini setelah sekian lama.
Dan untuk kamu, terima kasih karena sudah berdiskusi pajang denganku hari ini :)
Aku jadi punya bahan untuk menulis, hehe