Published Jumat, Oktober 19, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Jalan-Jalan ke Kota Khatulistiwa

Jembatan Kapuas. Kegedean ya fotonya, hehehe. Sengaja :p
Selasa, 11 September 2018 yang lalu, aku dan Mas Suami dimintai tolong oleh Papa untuk mengantar nenek dan adiknya (kami memanggilnya dengan panggilan 'nek Timah') pulang ke Pontianak. Jujur sedari dulu aku selalu bertanya-tanya, moment apa ya yang bakal mengantarkan aku ke pulau Kalimantan? Disaat pulau Jawa, Sulawesi dan Sumatera sudah pernah aku tinggali. Eh, ternyata jawabannya adalah ini. Iya, jadi Mama itu orang Pontianak asli, kota yang merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Barat itu. Dan sebagian besar keluarga besar dari Mama itu ya tinggalnya di Pontianak. Makanya saat nenek dan nek Timah mau pulang ke Pontianak setelah hampir sebulanan tinggal di Purbalingga, Papa pun meminta tolong kami untuk mengantarkan mereka pulang sekaligus agar bisa berkenalan dengan keluarga besar yang ada di Pontianak.
Terus saat itu, ada cukup banyak barang yang kami bawa. Empat koper besar dan 1 kardus kecil. Kami berempat menggunakan kereta untuk berangkat ke Jogja, yang setelahnya dilanjutkan dengan menggunakan pesawat menuju Pontianak. Kurang lebih sekitar 7 jam lamanya kami menunggu pemberangkatan di bandara Adisutjipto karena Mama terlalu khawatir jika jeda antara kereta dan pesawat hanya sekitar 1-2 jam saja. Takut terburu-buru. Katanya, kasihan kalau nenek dan nek Timah disuruh lari-lari begitu. Agak bosan juga sih menunggu selama itu, karena kondisi cuaca yang sedikit panas sehingga tidak terlalu nyaman jika harus menunggu di luar, namun juga tidak bisa menunggu di dalam karena counter check-in yang ada belum tersedia untuk kami. Kami berempat jadi mati gaya gitu karena tidak ada apa-apa dan juga tidak bisa kemana-mana, ditambah dengan tempat duduk yang juga terbatas. Hanya sekitar 8 bangku saja yang tersedia di situ. Makanya nenek dan nek Timah juga jadi sedikit-sedikit berdiri dan berjalan-jalan karena mungkin agak capek juga kalau harus duduk berlama-lama. Tapi, tentu saja semua kebosanan itu seolah sirna ketika sekitar jam 4 lebih belasan menit kami mulai terbang menuju Pontianak.
Sebenarnya ada pemandangan bagus saat berada di atas pesawat saat itu, hanya saja tidak sempat aku abadikan karena posisi duduknya yang kurang mendukung. Jadi waktu mau mendarat di bandara Supadio, matahari itu lagi mulai terbenam sehingga warna langit pun jadi oren-oren kemerahan. Masya Allah. Terus juga banyak lampu-lampu yang dinyalakan di sekitaran laut dan bandara, yang bikin kalau ngelihat ke jendela tuh kayak lagi lihat lautan lampu berwarna-warni yang juga kerlap-kerlip gitu. Indah banget pokoknya. Rasanya mirip kayak lampu-lampu yang aku lihat sewaktu nge-camp bareng anak-anak lab multimedia, tapi ini versi lebih bagusnya lagi. Hehe. Dan perjalanan Purwokerto-Jogja-Pontianak hari itu pun diakhiri dengan makan di salah satu rumah makan milik kerabat. Rumah makan Arab (karena katanya di sana, kalau mau makan di luar rumah itu lebih aman di rumah makan Arab, yang sudah terjamin kehalalannya).

Rabu, 12 September 2018
Tidak banyak yang aku dan Mas Suami lakukan di Pontianak. Karena di sana Mas Suami masih dalam mode kerja (model kantornya memang kebanyakan karyawan remote-nya daripada yang onsite), maka kegiatan pergi-pergi alias jalan-jalan hanya bisa dilakukan di sore hari. Makanya kegiatanku sehari-hari dari pagi sampai sore ya tidak ada bedanya dengan yang biasa aku lakukan di Purbalingga. Makan - nyuci - njemur - nyetrika - tidur. Itu-itu saja. Bedanya di sana lebih banyak teman ngobrolnya (nenek) dan juga memang nenek selalu menyengaja menunggu-nunggu kami makan baru beliau makan, dan tidak mau kalau disuruh makan duluan :" Mungkin biar lebih kerasa kalau ada temennya kali ya, soalnya biasanya sambil makan nenek akan bercerita banyak hal gitu. Sedangkan nek Timah biasanya sudah makan duluan karena sekalian mengasuh cucunya yang biasa dititipkan selagi orang tuanya melaut dan bekerja.
Lalu sorenya kami jalan-jalan ke rumah Om Anto (adik ipar Mama) dan Kak Yan (sepupu Mas Suami yang tinggalnya masih satu komplek dengan Om Anto), sekaligus bermain dengan ketiga anaknya Kak Yan: dek Bintang yang baru lahir dan kedua kakak kembarnya, Langit dan Bumi. Unik ya namanya, hehe. Dan cukup lama kami di rumah Kak Yan karena si kembar yang baru pulang mengaji di Rumah Tahfidz ba'da Isya, yang pulangnya langsung mengajak aku dan Mas Suami untuk bermain Ludo sampai sekitar jam 10-an setelah sebelumnya saling pamer hafalan dan keahlian mengaji mereka. Tapi lucu juga sih main sama si kembar yang masih kelas 1 SD itu. Soalnya meski kembar identik, namun kepribadian keduanya sedikit bertolak belakang. Si kakak yang pemberani dan ambisius, dengan si adek yang pendiam dan malu-malu. Apalagi kan, logat orang sana itu melayu-melayu gitu ya. Jadinya lucu aja gitu kalau pionnya si kakak termakan oleh pion yang lain, pasti dia langsung teriak, "alamaaak". Persis kayak yang di film upin dan ipin itu, hihihi.
Dan seperti yang aku tulis sebelumnya, acara main-bermain itu pun berakhir sekitar jam 10-an, setelah semua pion yang masih bertahan di jalurnya mulai diacak-acak oleh keponakan yang lain (maafkan aku, aku lupa namanya siapa :" huhu).

Kamis, 13 September 2018
Seperti hari sebelumnya, di hari ini aku dan Mas Suami kembali menjadwalkan diri untuk berkunjung ke salah satu kerabat yang ada di sana. Kali ini kami mengunjungi rumah salah satu saudara Papa yang juga tinggal di Pontianak: Pakde Pri. Agak lama juga perjalanan ke sana karena Mas Suami yang lupa-lupa ingat dengan jalannya. Dan juga di sebagian perjalanannya itu ada sedikit rasa tidak nyamannya karena harus melewati pabrik ban yang baunya sangat menyengat sampai ke jalan-jalan besar. Aku sampai sesak napas dibuatnya. Terus di jalan-jalan pemukimannya juga ada banyak anjingnya, kan jadi takut ya :" Tapi jadi nostalgia sedikit sih sama zaman dulu pas tinggal di Kendari. Ya mirip-mirip gini, banyak anjing yang memang dilepas di jalanannya gitu.
Lanjut. Hampir satu jam lamanya kami mencari rumah Pakde Pri. Sayangnya ketika sampai di sana, Pakde dan Bude sedang ikut kajian rutin malam Jumat dan pulangnya pun agak malam, sehingga kami tidak sempat bertemu. Makanya sore itu kami hanya ngobrol-ngobrol dengan salah satu anaknya Pakde, yaitu Mbak Ema. Sejujurnya setiap aku ikut ngobrol-ngobrol dengan kerabat Mas Suami itu, aku agak sedikit kagok dan canggung. Masalahnya logat mereka kan melayu ya, terus juga ditambah dengan nadanya yang tinggi dan gaya bicaranya yang lumayan cepat. Jadi seringnya aku agak lama gitu menerjemahkan maksud demi maksud yang disampaikan. Makanya, aku benar-benar belum bisa jauh-jauh dari Mas Suami selama di Pontianak itu. Takut jadi bengong sendiri setiap diajak ngobrol. Kan, jadi nggak asik ya kalau lagi diajak ngobrol malah plonga-plongo gitu. Hehe.
Dan cerita perjalanan hari itu pun ditutup dengan muter-muter sebagian kota Pontianak karena tiba-tiba aku kepengen makan pentol kuah dan telor gulung :"

Jumat, 14 September 2018
Sudah mau mendekati hari terakhir di Pontianak, tapi masih banyak list kerabat yang belum sempat dikunjungin. Akhirnya pagi-pagi sekitar jam setengah 10-an gitu, aku dan Mas Suami ikut nek Timah ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari rumah nenek. Sekalian karena pengen ketemu sama kerabat yang lain. Oh iya, rumah nek Timah ini letaknya persis di pinggir sungai kapuas, sehingga model rumahnya pun adalah rumah panggung yang bawahnya masih air-air sungai gitu. Sebenarnya rumah nenek juga rumah panggung, hanya saja bagian depannya sudah berbentuk tanah yang sebagiannya lagi sudah beraspal. Sedangkan kalau rumah nek Timah ini benar-benar masih berbentuk rumah panggung.
Dan di sana pun aku diajak oleh nek Timah untuk melihat-lihat sungai kapuas yang sudah direnovasi pinggirannya dan dibangun jembatan baru. Katanya, ada banyak rumah-rumah yang dihancurkan untuk pembangunan jembatan itu. Tapi kelebihannya, sebagian besar warga yang masih tinggal di situ pun jadi memanfaatkan hal itu untuk membuka rumah makan kecil-kecilan yang menjual beberapa makanan khas Pontianak. Soalnya kalau sore, biasanya ada banyak orang yang bermain di jembatan itu. Istilahnya jembatannya malah jadi salah satu tempat wisata gitu deh.
Eh, ada satu hal lagi. Sewaktu dalam perjalanan ke Pontianak, Mas Suami sempat bercerita kalau anak-anaknya nek Timah itu cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Putih-putih banget gitu kulitnya, berbeda dengan anak-anaknya nenek yang sebagian putih dan sebagian lagi sawo matang. Awalnya aku pikir karena kebetulan saja nek Timah dapet kebagian yang putih-putih gitu. Eh, ternyata oh ternyata. Rupanya Datuk, suami nek Timah itu ternyata berperawakan tinggi dengan kulitnya yang putih. Pokoknya di usia yang sudah tidak lagi muda begitu, masih kelihatan ganteng dan gagah deh. Jalannya juga masih tegap dan suka beraktifitas gitu, alias nggak bisa diam. Pantesan saja ya... Eh, astaghfirullah, aku kok malah ngomongin fisik ya... Tapi emang beneran Datuk tuh ganteng banget hehehe.
Lanjut. Sewaktu lagi lihat-lihat sungai di sana, nek Timah bilang kalau mending ke sininya sore-sore aja biar lebih rame dan juga lebih bagus pemandangannya. Jadinya karena memang sudah mau mendekati waktu sholat Jumat dan matahari juga sudah lagi panas-panasnya, akhirnya aku dan Mas Suami pun memutuskan untuk kembali ke sungai kapuas sore harinya, dan berpamitan ke nek Timah untuk kembali ke rumah nenek. Mas Suami kan juga harus kerja, hehehe. Dan memang pengen ke situ lagi juga pas sorenya karena pengen nyobain makanan khas Pontianaknya.
Mie SaguBubur Padas
Nah, itu dia penampakan salah dua makanan khas Pontianak yang dijual di sana. Awalnya aku kira namanya bubur pedas. Tapi kok ya pas dirasa-rasa malah nggak ada pedas-pedasnya. Sampai sempat nanya juga ke nek Timah dan salah satu anaknya yang ikut menemani aku dan Mas Suami makan di pinggiran sungai kapuas di sore harinya, tetapi malah tidak ada yang tahu kenapa dinamakan bubur pedas. Sampai akhirnya pas sudah sampai Purbalingga dan nanya ke Mama, rupanya katanya namanya bukan bubur pedas, tapi bubur padas. Pantesan saja... Eh, tapi kedua makanan ini enak loh. Meski katanya orang-orang tidak begitu suka dengan bubur padas karena tampilannya yang kurang menarik itu. Apalagi buburnya juga isinya lebih banyak sayur hijau-hijaunya, yang rasanya juga mirip-mirip sama dedaunan gitu. Tapi nggak begitu pahit.
Terus kami juga di sana sampai sempat melihat matahari sewaktu lagi terbenam dan kapal yang lagi berlayar untuk pulang. Masya Allah, bagus banget nggak sih? Tapi beneran deh, ngelihat hal-hal yang kayak gini tuh benar-benar mengingatkan aku sewaktu kecil dulu, waktu tinggal di Kendari itu. Soalnya dulu kalau sore-sore gitu sering diajakin Ummi dan Abi makan di pinggiran pantai. Iya, jadi aku, Hilmi sama Ais itu dibawain makanan dari rumah, tapi makannya di pinggiran pantai yang juga merupakan pinggiran jalan raya. Jadi samping-samping jalanan besar beraspal itu langsung pantai. Terus juga suka banyak kapal-kapal atau perahu yang berlayar pulang gitu, dan emang banyak orang yang sore-sore gitu sekedar duduk-duduk di pinggiran itu buat makan atau sekadar lihat-lihat pemandangan saja.
Dan setelah puas menikmati indahnya ciptaan Allah itu, kami pun bergegas pulang ke rumah. Mengejar waktu sholat Maghrib yang sudah seperdelapan jalan. Tapi tentu saja perjalanan kami tidak sampai di situ saja. Karena besok pagi-pagi sudah harus kembali ke Purbalingga, makanya setelah sholat Maghrib kami pun berpamitan dengan nenek dan meminta izin untuk menginap di rumah Om Anto. Agak sedih juga sewaktu berpamitan dengan nenek. Apalagi nenek di sana itu tinggalnya sendirian, meski anak-anaknya ya sebenarya masih sering menyempatkan diri untuk berkunjung. Rasanya nggak tega gitu. Aku sampai hampir mau nangis, sedangkan nenek malah sudah sampai menangis.
Dan terus setelah berpamitan dengan nenek, aku dan Mas Suami pun langsung beranjak ke rumah Om Anto. Tidak mau berlama-lama pamitannya karena takut semakin berat untuk pulang meninggalkan nenek. Pun di sana rupanya kami sudah ditunggu oleh Kak Yan. Kami sudah ditagih-tagih disuruh berkunjung ke rumah Abah (ayahnya Kak Yan) karena katanya mau disuguhi banyak makanan. Tapi sebelum pergi ke rumah Abah, kami meminta Kak Yan dan suaminya untuk menemani ke rumah nek Rukiah untuk memberikan titipan Mama. Mengobrol sebentar, menjemput si kembar, lalu setelahnya langsung menuju ke rumah Abah.
Dan benar saja, sesampainya di rumah Abah, rupanya Abah dan istrinya sedang sibuk memasak di dapur. Kami benar-benar dijamu dengan baik. Dari udang yang besar-besar, sotong, cumi, dan aneka makanan laut lainnya. Terus juga di situ ada sambal khas istrinya Abah. Kenapa dibilang khas? Soalnya rasanya pedaaaaaaaas banget. Aku yang suka pedas saja sampai kewalahan karena baru nyolek sedikit udah kepedasan, huhu. Dan di sana kami bermain dan ngobrol-ngobrol sampai hampir jam 10-an juga kalau tidak salah, atau malah kurang ya? Agak lupa sih. Tapi sewaktu pulang, kami masih juga dibawain oleh-oleh sama Abah sekotak kardus yang ukurannya lumayan besar dan juga berat.

Sabtu, 15 September 2018
Pesawat yang kami tumpangi akan take-off sekitar jam 10-an, tetapi Abah menyuruh Om Anto untuk mengantarkan aku dan Mas Suami ke tokonya. Katanya kami disuruh milih oleh-oleh sebanyak apapun. Sesukanya pokoknya. Tapi meskipun dibilang gratis, tentu saja kami malah jadi ada rasa tidak enaknya begitu kan. Makanya setelah dipaksa-paksa bawa ini itu, akhirnya kami pun hanya membawa beberapa pakaian dan dompet saja.
Itu yang paling depan kiri Abah, dan sebelahnya itu Om Anto. Terus kalau yang di paling depan kanan itu Tante Ade (istrinya Om Anto), dan sebelahnya itu istrinya Abah. Itu foto di toko oleh-oleh milik Abah. Kalau kata kerabat yang lain, emang kalau ada saudara yang berkunjung ke Pontianak itu pasti bakal disuruh Abah mampir ke tokonya. Disuruh bawa oleh-oleh sebanyak-banyaknya secara cuma-cuma gitu. Masya Allah.
Dan cerita perjalanan 'berlibur' ke kota Khatulistiwa itu pun berakhir dengan penerbangan dari Pontianak ke Jakarta, yang setelahnya dilanjutkan dengan perjalanan menggunakan kereta dari Stasiun Senen ke Stasiun Purwokerto. Alhamdulillah!

Catatan
Sebenarnya ada beberapa hal yang jadi perhatianku selama tinggal di Pontianak saat itu. Yang pertama adalah cuaca di sana yang sangat panas. Benar-benar panas. Sampai-sampai aku baru menjemur jam 11 siang saja, jam 12 siangnya sudah kering lagi. Benar-benar kering yang bajunya sampai panas gitu loh sewaktu dipegang. Terus yang kedua, adalah soal banyaknya makanan yang tidak halal di sana. Iya, jadi sewaktu aku lihat-lihat di plang rumah makan begitu, aku melihat tulisan 'mie kwetiau (halal)'. Dan Mas Suami pun waktu ngelihat itu langsung bilang ke aku, kalau di rumah-rumah makan di situ, sampai harus diberi tulisan 'halal' untuk memberitahu bahwa makanan yang dijual di sana ya makanan yang halal. Pantas saja Mama cerita kalau nenek itu benar-benar memperhatikan apa yang dimakannya. Pokoknya nenek jarang mau makan makanan yang tidak dimasak sendiri. Dan nenek juga tidak mau makan bakso di sana. Soalnya katanya takut olahannya terbuat dari daging babi. Apalagi kata Edo (salah satu sepupu Mas Suami), di sana ada rumah makan yang menjual Nasi Ayam, yang meski namanya ayam, tetapi terbuat dari daging babi. Astaghfirullah...


Jumat, 19 Oktober 2018
Alhamdulillah, diberi kesempatan untuk berlibur di Kalimantan!