Published Senin, Juli 09, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Manusia Kekinian

Dulu waktu kuliah saya sering dikomentari oleh beberapa teman soal pakaian yang saya kenakan. Katanya, pakaian dan kerudungnya bermodelkan yang itu-itu saja. Warnanya juga nggak akan jauh-jauh dari warna hitam dan biru, atau cokelat dan abu-abu tanpa motif apa-apa. Pokoknya yang terlihat netral dan bisa dipadukan dengan warna apapun gitu. Saking motif dan warnanya yang seputaran itu-itu saja, sampai-sampai salah seorang teman saya pernah membelikan saya kerudung berwarna kuning-polkadot yang jauh-jauh ia beli sampai ke pasar baru demi ingin melihat saya menggunakan kerudung yang berwarna-warni―yang meskipun sampai saat ini kerudung itu pun cuma satu kali saja saya pakainya karena warnanya yang bukan "saya banget". Maaf ya :"

Foto ini diambil di waktu dan tempat yang berbeda-beda.
Dan karena hal itu juga dulunya saya sempat dianggap orang yang zuhud pisan, yang padahalnya mah sebenarnya sebelum-sebelumnya saya bukan tipe orang yang seperti ini dan memang dulu tidak pernah ada pikiran apa-apa soal ini. Saya juga sempat menjadi remaja-remaja lain yang sibuk memadu padakan pakaian yang matching dari atas sampai bawah, kok. Pokoknya kalau lagi pakai baju biru, kerudungnya juga harus biru. Pakai baju ungu, hijau, oren, ya kerudungnya juga harus senada. Jadi kalau beli baju baru ya harus sama kerudungnya sekalian biar kelihatan bagus. Apalagi waktu awal-awal kuliah itu saya doyan banget "jajan" di pasar kaget. Beli kerudung paris berbahan tipis-tipis yang kalau beli sepuluh ribu itu bisa dapet tiga, ditambah sama kaos kaki yang bentuknya lucu-lucu dan berwarna-warni. Ya meskipun memang dari dulu untuk hal-hal seperti itu saya tidak pernah suka sama yang motifnya terlalu nyentrik, alias yang polos-polos saja atau hanya ada sedikit motif biasa, tetapi saya punya banyak kerudung dan baju dengan warna yang berbeda-beda.

Dan hal itu tidak terbatas pada ketiga benda itu saja. Kamar kosan saya udah kayak gudang, dipenuhi oleh barang-barang yang sebenarnya nggak begitu saya butuhkan. Apalagi hal ini juga didukung oleh asupan uang jajan tambahan karena sempat menjadi asisten praktikum, sehingga merasa udah punya penghasilan sendiri dan bisa semakin banyak "jajan". Apa-apa mau dibeli. Entah itu sebulan kalau beli kerudung bisa berlusin-lusin dengan warna yang sebenarnya nggak begitu berbeda, sepatu dan kaos kaki yang modelnya agak mirip-mirip―yang sekilas orang juga sebenarnya bakal susah ngebedainnya, berbagai macam model tas dari yang shoulderbag, slingbag, handbag, dan yang lain sebagainya, sampai kaos yang warna dan modelnya sebenarnya nggak begitu jauh berbeda kayak yang satunya garis-garis vertikal sedangkan yang satunya lagi garis-garis horizontal. Dan kalau diingat-ingat lagi, saya justru ngerasa kayak hidup saya kok berasa mubazir banget, ya. Mungkin kalau dulu uang buat ngebeli hal-hal itu dikumpulin, saya udah bisa beli bergram-gram emas, deh. Atau bahkan sampai ratusan gram, ya?

Apalagi kan waktu itu udah mulai terkenal tuh yang namanya belanja online. Yang biasanya banyak promo plus ditambahin iming-iming free ongkir. Belanja sambil tiduran pun kita udah bakal dapetin banyak barang yang lucu-lucu dan murah-murah, atau kalaupun mahal pun biasanya udah banyak promonya. Kayak waktu itu saya pernah ditawari ikutan beli sepatu lari yang katanya kalau beli dua gratis satu, jadi kalau tiga orang beli ya harganya jadi lebih murah karena harga dua sepatu bakal dibagi tiga. Dan anehnya saya mau, padahal saya itu nggak pernah olahraga lari. Tapi saya mau karena tertarik sama promo dan desain sepatunya yang bagus. Terus sewaktu sudah kerja juga teman saya nawarin saya buat ikutan beli tas karena ada promo beli dua shoulderbag bakal dapet dua walkerbag, dan saya mau juga. Dan akhirnya karena kerakusan saya itu, sepatu larinya sekarang cuma nangkring cantik di rak sepatu karena sayanya nggak pernah olahraga lari, dan entah kenapa sepatu lari juga bagi saya agak aneh kalau sekedar dipakai jalan-jalan. Begitu juga dengan tasnya yang akhirnya justru saya kasihin ke adik saya yang laki-laki.

Dan singkat cerita di masa-masa kuliah itu, seiring dengan berjalannya waktu entah kenapa lama-lama saya jadi mulai merasa risih dan agak nggak enakan kalau pakai kerudung yang tipis-tipis atau pendek-pendek gitu. Kan bahan paris itu kalau dipakai sebenarnya agak nerawang gitu kan ya, makanya kalau dipakai jadi pendek-pendek karena harus dilipat banyak-banyak biar bahannya jadi kedobel-dobel. Dan sewaktu saya mulai risih begitu, saya jadi suka pakai kerudungnya didobel-dobel. Jadi warna apapun saya dobelin pake kerudung yang warnanya gelap dulu baru dilipet buat dipakai biar kerudungnya bisa lebih panjang dan lebar, dan itu benar-benar memakan waktu yang nggak sebentar. Saya jadi sering terlambat kuliah karena kesusahan memakai kerudung yang didobel-dobel begitu. Dan karena sering kesusahan begitu, akhirnya di bulan berikutnya pun saya memutuskan untuk membeli kerudung yang lebih panjang dan lebih tebal. Namun karena harganya yang tidak murah dan saya juga sudah tidak jadi asisten praktikum lagi, jadinya waktu itu saya hanya membeli tiga warna saja―hitam, navy dan cokelat, yang sekiranya bisa dipasangkan dengan pakaian warna apapun.

Di sini sih sebenarnya awal mula adanya titik balik dalam hidup saya. Karena terlalu nyaman dengan ketiga warna yang ternyata bisa dipasangkan dengan berbagai macam warna pakaian, akhirnya saya kalau beli baju juga warnanya jadi seputaran ketiga warna tadi. Dan karena warna-warna itu juga netral, jadinya saya udah nggak banyak beli baju-baju baru yang jadinya ngebuat saya pakai bajunya ya seputaran warna dan model yang itu-itu saja. Apalagi sewaktu saya lagi beberes pakaian karena mau pindah kosan, ngeliat banyak kerudung paris bertumpuk-tumpuk begitu malah jadi bikin saya engap. Sebanyak itu ternyata sekarang jadi nggak ada satupun lagi yang saya pakai. Dan perubahan ini juga didukung oleh komentar seorang teman saya, sih. Jadi sewaktu lagi mau pindahan gitu saya sempat cerita kalau ternyata saya punya banyak sepatu, dan teman saya malah bilang begini, "Masa sih? Kok kayaknya aku lihatnya kamu pakai sepatu yang itu-itu aja?" Yang hal itu justru sukses membuat saya berpikir, kalau selama ini saya cuma lapar mata. Jadi suka ngebelinya, tapi nggak begitu suka makenya. Cuma jadi koleksi semata, dan membuat saya jadi kepikiran sama istilah manusia kekinian.

Kan sering tuh kita lihat banyak remaja atau mahmud-pahmud, bahkan sampai para bapak-ibu yang eksis di IG, entah yang pakaiannya syar'i atau tidak. Sukanya nampang di beranda IG dengan pakaian, kerudung, tas, sepatu, jam tangan, atau barang-barang lainnya yang kebanyakan adalah hasil dari endorse-an suatu produk tertentu. Padahal terkadang wajahnya nggak begitu kelihatan, tapi entah kenapa aura cantik atau gantengnya itu bisa jadi ujian buat kaum-kaum jomblo. Terutama ujian yang bisa mengguncang isi dompet, hehe. Soalnya ngelihat barang-barang itu dipakai sama mereka kitanya jadi mikir, "Ih kok bagus, ya? Kalau kalau aku beli dan pakai kayak gitu, aku juga bisa jadi keren kayak mereka kali, ya?" Yang intinya jadi menaruh harapan agar bisa terlihat keren kalau pakai barang yang sama, dan akhirnya malah membuat kita jadi khilaf pengen "jajan" terus. Atau terkadang juga jadi lapar mata karena ngelihat barang branded atau barang-barang lain yang kelihatan keren dan kitanya kayak nggak mau kalah aja gitu sama model barang yang lagi in saat ituPadahal di rumah ada banyak barang serupa yang malah nggak sempet dipakai karena saking banyaknya model yang kita punya. Dan parahnya, banyak orang yang terjerat akan hal ini meskipun tahu kalau hidup kayak gini tuh sebenarnya capek dan mubazir. Buktinya? Lihat ke diri sendiri aja :)

Dan hidup dengan cara seperti ini juga sebenarnya menurut saya itu nggak sehat. Karena lapar mata, akhirnya kita jadi sering ngebelanjain barang-barang yang ujung-ujungnya cuma disimpen di lemari atau tempat-tempat lain yang malah bikin barang-barang itu jadi usang dan rusak dengan sendirinya, padahal nggak pernah dipakai. Udah gitu karena saking banyaknya barang yang kita punya, ngerawatnya pun jadi susah. Coba deh diperhatiin, satu-dua barang yang jarang dipakai pasti lebih gampang rusaknya, karena kita nggak memperlakukan mereka dengan hati-hati―karena punya perasaan kalau kita masih punya banyak barang lainnya yang serupa kegunaannya. Dan diakhir-akhir baru sadar kalau ternyata udah banyak menghambur-hamburkan uang yang sebenarnya uangnya tuh bisa dialihfungsikan ke hal-hal yang lain, kayak misalnya infaq-shodaqoh-zakat yang justru memberikan pahala yang kalau dibandingkan dengan nambah-nambah dosa karena udah menghambur-hamburkan uang itu pastinya jauh lebih baik. Atau mungkin bisa dipakai travelling ke berbagai tempat yang justru memorable, berkesan gitu. Pokoknya melakukan hal-hal lain yang lebih ada manfaatnya.

Soalnya kerasa banget sewaktu pindahan dan jadinya bingung kerudung-kerudung lama itu mau diapain. Dan adik kelas saya bilang kalau dikasihin ke orang lain takut dosa karena ngasihin kerudung tipis dan pendek, disaat seharusnya mulai mengajarkan ke orang lain buat membiasakan diri memakai kerudung yang tebal dan lebar. Apalagi soal tas kembaran berempat yang dibeli gara-gara ngeburu bonus walkerbag itu, karena model yang saya suka cuma satu dan ternyata itu juga disukain sama dua orang teman saya yang lainnya, jadinya kita bertiga pun punya tas dengan model yang sama tapi warnanya aja yang beda. Dan karena teman kantor saya bilang kalau kami berempat―sama satu orang yang punya model tas beda tapi masih dengan merk yang sama―itu kayak lagi di-endorse sama produsen tas, terus salah seorang kakak tingkat juga bilang kalau kami bertiga kayak anak panti asuhan yang lagi diajak jalan-jalan sama beliau karena punya tas yang sama sewaktu lagi perjalanan Jakarta-Depok-Bandung, saya pun jadi agak jarang pakai tas itu karena ngerasa ada sedikit rasa nggak enak-nggak enaknya gitu. Soalnya waktu itu, genre saya memang yang berbeda sendiri.

Tapi Alhamdulillahnya secara kebetulan adik saya yang laki-laki itu lagi butuh tas juga, sih. Jadinya tas kembaran itu pun akhirnya dihibahkan ke adik saya biar nggak terbengkalai lagi. Dan sewaktu saya ngirimin tas itu ke Bandung, disitu ingatan saya langsung terbang ke hari pas saya beli barang itu. Iya, saya jadi dihantui perasaan bersalah. Perasaan bersalah karena banyak hal. Perasaan yang sama kayak yang saya rasakan sewaktu melihat tumpukan kerudung berbahan paris itu dulu. Perasaan yang mungkin setelahnya justru membuat saya memutuskan untuk menerapkan konsep hidup minimalis.

Yapp. Jadi sekarang tuh saya lagi (berusaha) mencoba untuk tidak membeli apa-apa sebelum barang yang saya punya dan saya pakai itu benar-benar rusak dan tidak bisa dipakai lagi, atau habis. Sudah berjalan hampir setahun saya menerapkan konsep hidup seperti ini. Dan saat ini saya juga sedang menerapkan konsep one-in-one-out yang saya tiru dari seorang selebgram ibu-ibu muda, yang maksudnya adalah kalau habis beli barang baru ya barang lamanya harus dikeluarin. Jadi misalnya saya habis beli baju baru, berarti setelahnya saya juga harus mengeluarkan baju lama saya, entah baju itu jadinya disumbangkan ke orang yang lebih membutuhkan atau menjadi baju lungsuran untuk adik-adik saya. Pokoknya jangan sampai bajunya malah jadi tidak terpakai atau justru terbuang. Dan bagi saya hal ini justru membuat perasaan saya menjadi jauh lebih tenang.

Apalagi saya pernah dengar juga, kelak di akhirat nanti kita akan ditanya tentang apa-apa yang kita miliki di dunia, termasuk soal harta kita tuh sudah digunakan dan dibelanjakan untuk apa saja. Dan saya selalu terharu dan malu sendiri kalau ingat sirah obrolan Rasulullah dengan shahabat yang mempertanyakan kehidupan Rasulullah yang sederhana banget. Hiks, Masya Allah... Jangan sampai kita termasuk ke dalam orang-orang yang lebih fokus ke penampilan tapi melupakan soal hati kita, ya.

So, semangat teman-teman! Semangat untuk men-istiqomah-kan konsep hidup yang lebih baik.
Dan semangat buat kamu juga, Nan :"



Jakarta, 25 Juni 2018