Published Senin, April 23, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Brankas Rindu: Kota Metropolitan

Jika aku menilik balik kisah-kisahku di masa lalu, sebenarnya aku sama sekali tidak memiliki satupun kenangan indah dari pengalaman hidup di kota metropolitan ini. Mungkin aku belum mampu untuk mengingat apapun saat usiaku baru menginjak angka 2 hingga 5 tahun; namun, saat ini pun ketika aku sudah memiliki kemampuan untuk merekam secara detail setiap hal yang terjadi dalam hidupku, nyatanya aku tetap merasakan hal yang sama, tanpa ada perubahan sedikitpun.

Entahlah, mungkin kota Jakarta terlalu keras untukku. Aku masih mengingat kejadian dimana aku sempat menolak untuk dipindah tugaskan ke kota ini; ketika aku masih bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi yang terletak di Bandung. Saking 'phobia'-nya terhadap kota metropolitan ini, aku justru memilih resign dari tempat kerjaku dan memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Terlalu berlebihan ya? Entahlah. Sebenarnya aku pun tidak tahu secara pasti apa penyebab dari ketakutanku ini. Jangankan penyebabnya, aku bahkan tidak pernah ingat bahwa Abi pernah memiliki pekerjaan sampingan sebagai penjual kaos sablonan; tidak ingat dimana letak dan bagaimana suasana rumah lamaku; dan tidak ingat siapa saja teman-temanku. Tapi, ada satu hal yang masih aku ingat hingga sekarang; sebuah kenangan ketika aku tinggal di sebuah daerah di pinggiran kota Jakarta.

Saat itu, seingatku, aku mengenal seorang teman; perempuan, yang setiap harinya selalu membangga-banggakan saudara-saudaranya di hadapanku. Ya, dia memiliki dua-tiga kakak yang aku lupa secara pasti berapa jumlahnya; yang hal itu selalu ia pamerkan kepadaku. Dan seperti yang kalian tahu, aku adalah anak pertama dari dua bersaudara; saat itu, sedangkan hampir semua teman-temanku memiliki kakak. Bahkan, aku tidak diperbolehkan olehnya untuk ikut bermain; karena kondisiku yang merupakan anak pertama saat itu. Aku dikucilkan, hanya karena aku adalah seorang anak pertama. Bahkan, adik laki-lakiku pun diperbolehkan ikut bermain oleh mereka.

Namun, seingatku pula, beberapa temanku yang juga merupakan anak pertama tetap ia perbolehkan untuk ikut bermain bersamanya. Entahlah; aku juga tidak mengerti mengapa hanya aku yang dikucilkan saat itu. Tapi, aku masih ingat sekali kalimat itu. Kalimat yang pada saat itu, di masa itu, dengan umurku yang masih segitu, mampu membuatku menangis meraung-raung di pojok lapangan; dengan posisi dia yang duduk di tangga-tangga lapangan sambil terus meneriakiku dengan olokan-olokannya. Kejadian yang mungkin saat ini terbaca begitu sederhana, namun sangat membekas di memoriku.

Mungkin hal itu yang membuatku tidak begitu menyukai kota ini; meski pada kenyatannya aku kini bekerja di sini.


Jakarta, 23 April 2018; 16.13
Aku menulis untuk menghilangkan sedih;
aku menulis untuk menghilangkan sepi;
aku menulis untuk membahagiakan diri;
meski apa yang aku tulis adalah sebuah kesedihan.