Published Rabu, September 12, 2012 by

Ulasan Cerpenku oleh FAM Indonesia

Sahabat FAM, hari ini Tim FAM Indonesia mengulas sebuah cerpen “tanpa judul” karya Hannan Izzaturrofa, anggota FAM Indonesia yang berdomisili di Purwokerto. Ya, cerpen ini benar-benar tidak berjudul, disengaja oleh penulisnya dan diserahkan ke Tim FAM untuk diulas. Tentu diharapkan nanti cerpen ini diberikan judul. Ibarat tubuh manusia, judul adalah kepalanya. (Sebenernya berjudul, hanya saja judulnya aku jadikan nama file untuk menyimpan naskah cerpen ini-Hannan Izzaturrofa)  

Cerpen ini berkisah tentang Dido, seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental. Ia sulit berbicara. Tentu saja ini menjadi kekhawatiran orangtuanya. Bagaimanapun, orangtua pasti ingin anaknya lahir dalam keadaan normal dan bisa menjadi kebanggan keluarga. Namun hal ini tidak terjadi dalam keluarga miskin, yang seharinya-harinya mengais rejeki dengan menjadi pembantu di kediaman pak Suryo.

Ada sebuah pesan yang menarik yang diungkapkan penulis dalam cerpen ini. Diceritakan, ayah Dido sangat marah ketika Dido dihina oleh Tuan Suryo. Ia rela jika dirinya dihina, tapi tidak untuk anaknya. Ini adalah sebuah pesan yang ditujukan bagi siapa pun yang memiliki anak dalam kondisi tidak normal bahwa sebagai orangtua yang baik seharusnya tetap memperlakukan anaknya dengan baik. Jika kita lihat, banyak orangtua yang merasa malu memiliki anak cacat, bahkan ada yang tega membuang dan tidak mengakui anaknya.

Pemilihan kata yang digunakan oleh penulis cukup bagus. Teknik penulisannya juga. Hanya saja, ada beberapa kata yang tidak sesuai dengan EYD. Misalnya kata ‘ditangannya’ pada paragraf ketiga, seharusnya ditulis ‘di tangannya’. Penulisan kata ‘di’ jika diikuti kata tempat adalah dipisah.

Secara keseluruhan cerpen ini baik, termasuk juga dalam segi ide cerita. FAM berharap penulis terus berlatih agar kualitas karya yang dihasilkan semakin membaik.
Semangat berkarya!

Salam santun, salam karya.
TIM FAM INDONESIA
www.famindonesia.blogspot.com

[BERIKUT CERPEN PENULIS YANG DIPOSTING TANPA EDITING TIM FAM INDONESIA]

CERPEN (TANPA MENYERTAKAN JUDUL)
Oleh Hannan Izaturrofa
IDFAM861S Anggota FAM Purwokerto

Pagi itu memang pagi yang indah. Anak-anak yang seharusnya tahu diri membantu orang tuanya malah masih tertidur pulas bercengkerama dengan mimpi masing-masing. Suara adzan subuh yang terdengar lantang itu hanya mampu membuat mereka sedikit bergerak, lalu kembali tertidur pulas. Berbeda sekali dengan anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu.

Anak itu sedang sibuk memetik buah apel berwarna hijau di kebun milik majikannya, Tuan Suryo. Wajahnya serius. Dengan susah payah, tangan kanannya berusaha meraih buah apel tertinggi. Gesit. Terampil tangannya meraih. Ia tersenyum, mengumpulkan apel-apel yang terjatuh, kemudian kembali mencari buah apel yang cukup matang untuk dipetik. Ia cekatan dan sangat teliti.

10 menit. Ia masih sibuk. Malangnya, tumpuan kakinya tak mampu menopang berat tubuhnya yang tidak seimbang. GUBRAK! Seketika itu juga apel-apel hijau ditangannya terjatuh bersamaan dengan tubuhnya yang menimpa kayu-kayu. Ia tidak menangis, hanya meringis menahan sakit. Tangan dan kakinya terluka.

“Baaa.. Maa…”, teriak anak itu. Ia merangkak, berusaha bangkit. Tangan dan kakinya terasa perih.

Dari kejauhan, seorang pria tergopoh-gopoh menghampiri. Wajahnya penuh guratan-guratan lelah. Kulitnya hitam legam, terlalu lama terbakar sinar matahari. Wajahnya ramah, sangat bersahabat. Walaupun seketika berubah menjadi cemas.

Dengan sigap, digendongnya anak itu menuju gubuk tua yang tidak jauh dari situ. Gubuk itu memang sudah tua. Pondasinya sudah rapuh, dengan kayu-kayu yang sudah berlubang di sana-sini. Bukan cinta alasan yang tepat untuk tinggal di gubuk tua itu, namun karena tidak memiliki uang lebih untuk membangun gubuk yang lebih layak. Untuk membeli makan saja masih harus berhutang.

Dengan kain abu-abu tua dan air seadanya, dibersihkannya luka-luka itu. Cepat, namun berhati-hati. Anak itu tertawa. Tangannya terangkat meraih. Rupanya ia ingin mengobati lukanya sendiri. Pria itu menggeleng, lalu tersenyum. Tahu keinginannya tidak dituruti, anak itu sontak menangis. Meronta-ronta, menarik-narik apa saja yang ada di hadapannya.

Setelah sekian lama meronta-ronta, anak itu lalu terdiam. Lelah. Ia malah sibuk memandangi luka-lukanya. Mungkin ia terheran mengapa luka itu bisa ada di tubuhnya. Atau mungkin juga sedang mencari tahu mengapa luka-luka itu bisa memerah, terasa sakit ketika disentuh, atau yang lainnya.

“Apa yang terjadi dengan Dido?”, terdengar suara serak parau dari arah dapur. Seorang wanita dengan sehelai kain yang menutupi kepalanya menghampiri dengan senyum yang agak dipaksakan. Wajahnya tidak kalah lelah dengan pria tadi.

“Dido terjatuh. Tangan dan kakinya terluka. Tapi sudah diobati”, jawab pria itu seraya beranjak dari tempat duduknya.

“Masih sakit?”, tanya wanita itu lembut. Dido mengangguk pelan, menunjukkan tangan dan kakinya yang masih memerah.

“Sebentar lagi pasti sembuh. Ini tidak akan lama”, ucap wanita itu sambil tersenyum. Diambilnya sepiring nasi dan lauk seadanya dari atas meja tua.

“Baaa.. Maa..”, teriak Dido girang. Lahap sekali ia makan. Sepiring nasi aking dan bayam goreng.
***
7 tahun silam. Ketika itu langit masih berwarna kemerah-merahan. Seorang wanita dengan pakaiannya yang lusuh sedang bermain bersama anak semata wayangnya. Tampak di sudut matanya sebuah kekhawatiran. Di ujung sana, sekumpulan wanita paruh baya sedang menyuapi anak-anaknya yang terus berlarian entah kemana. Ada yang berteriak, ada yang saling lempar, dan ada pula yang duduk tenang dan sibuk dengan mainannya. Mereka semua tertawa, menikmati sisa-sisa sinar matahari yang masih ada.

Ada sebersit rasa iri di benak wanita itu. Matanya tampak berkaca-kaca. Dibelainya kepala anaknya yang masih sibuk dengan gumpalan tanah. Sesekali anak itu berteriak, melempar seluruh tanah yang digenggamnya. Tidak peduli jika tanah yang dilemparnya itu mengenai matanya. Ia hanya tertawa, mengucek-ngucek matanya yang memerah, lalu kembali bermain dengan tanah-tanah itu.

Ya Allah, mengapa anakku berbeda?

Dido, anak semata wayang yang dulu diharapkannya tidak seperti anak-anak lainnya. Entahlah, Dido tidak bisa berbicara dengan lancar. Bibir mungilnya hanya bisa mengucapkan kata ‘Maa’ dan ‘Baa’ setiap kali ia ingin berbicara. Dido juga mengalami keterbatasan mental. Sebuah kenyataan yang buruk jika melihat kondisi keluarganya yang pas-pasan.

Keinginan tidak sesuai dengan kenyataan. Kalimat itulah yang pas untuk menggambarkan kondisi wanita itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah takdir dari-Nya.
***
“Itu apel milikku!”, teriak seorang anak laki-laki dari balik pintu bangunan yang megah. Dengan sigap, ia berlari menghampiri Dido dan langsung merebut karung gandum itu. Kasar sekali. Wajahnya tampak garang. Apel-apel di dalam karung gandum itu ditumpahkannya ke tanah.

“Baa.. Maa..”, merasa terganggu, Dido berteriak. Tangannya berusaha mengumpulkan apel-apel yang jatuh ke tanah. Tapi anak itu menghalaunya. Dido menggeram keras.

“Ini apel milikku! Kau tidak boleh mengambilnya!”
“Baa.. Maa..”

Dido menangis. Ia meronta-ronta. Anak laki-laki yang merebut apel-apel itu tertawa mengejek. Dengan santai, ia memakan apel-apel itu, lalu melempari Dido dengan sisa apel yang dimakannya. Kali ini Dido merasa sangat terganggu. Dengan cepat, ia mengambilnya batu di sekitarnya.

Sepersekian detik, batu itu mendarat tepat mengenai pelipis mata anak itu. Sontak ia menangis, berteriak memanggil ayahnya. Lima menit. Seorang pria berkulit putih bersih keluar dari pintu bangunan mewah itu. Berjalan dengan gagah, namun tampak sombong. Wajahnya merah padam.

“Apa yang kau lakukan dengan anakku!”, bentaknya. Ia lalu mendorong Dido keras. Terjerembab. Lukanya yang sudah agak mengering basah kembali.

“Baa.. Maa..”

“Jangan sakiti anakku tuan”, suara lantang itu memecah, terdengar jelas. Pria berkulit hitam itu melangkah menghampiri Dido yang sedang meringis kesakitan.

“Kau membelanya? Apa yang bisa kau banggakan dari anakmu yang cacat ini?!”, hardiknya keras. Jari telunjuknya teracung-acung ke depan.

Sontak saja pria berkulit hitam itu marah. Wajahnya memerah, menggeram garang. Bukan karena keadaannya yang miskin. Bukan. Ia marah karena Dido, anak semata wayangnya dihina. Tidak ada yang boleh menghina Dido.

“Tuan tidak boleh menghina Dido!”, teriaknya lantang. Ditariknya Dido menjauh.

“Akan saya kurangi gaji kau karena telah melawanku!”, teriak Tuan Suryo. Pria itu tidak mempedulikan. Ia terus berjalan beriringan dengan Dido meninggalkan Tuan Suryo dan anaknya.

“Baa.. Maa..”, Dido melawan. Ia berusaha melepaskan tangannya yang digenggam pria itu. Tuan Suryo dan anaknya sudah berbalik. Dido membungkuk. Diraihnya sisa-sisa apel tadi.
***
“Darimana kau dapatkan apel itu Dido!”, hardik wanita itu. Dengan keras ia menggenggam dan memukul lengan Dido dengan ranting sisa kayu bakar. Sakit. Dido berteriak meronta-ronta. Genggaman itu semakin kuat. Dido berusaha melepaskan genggaman itu.

“Diam! Siapa yang mengajarimu untuk menjadi seorang pencuri! Kau mau memberi Ibu apel hasil curian?!”

“Baa.. Maa..”, tangisan Dido semakin mengeras. Ia kembali meronta-ronta, berteriak mencari pertolongan. Pria yang sedari tadi memperhatikan Dido dan wanita itu hanya bisa meringis mengelus dada. Ia ingin membela, namun ia tidak memiliki keberanian yang cukup.

“Kembalikan apel itu! Ayo kembalikan!”, dengan keras, wanita itu menarik lengan Dido keluar rumah. Dido kembali meronta-ronta namun tidak dipedulikan.

Baru beberapa langkah, kaki wanita itu terhenti ketika melihat sebuah pohon apel yang baru dilihatnya. Pohon itu tumbuh tidak jauh dari gubuk tuanya. Tampak cukup besar, namun ia sama sekali tidak menyadari keberadaan pohon itu. Ditatapnya pohon apel itu lumat-lumat. Genggaman tangannya perlahan terlepas. Dido yang merasa sudah terbebas itupun langsung berlari menghampiri pohon apel itu.

“Baa.. Maa..”, teriaknya sambil melambai-lambai.

Wanita itu menoleh ke belakang, mencari sosok suaminya.

“Mengapa ada pohon apel tumbuh di situ? Bukankah batas kebun milik Tuan Suryo ada di depan rumah kita? Ini kan diluar jalur mereka”, tanya wanita itu terheran-heran.

“Itu bukan milik Tuan Suryo”, jawab pria itu. Pandangannya lurus menatap Dido.
“Maksudnya?”

Pria itu tidak menjawab. Ia lalu melangkahkan kakinya menghampiri Dido yang masih berteriak, tertawa-tertawa. Wanita itu semakin penasaran. Diikutinya langkah suaminya itu.

“Dido yang menanamnya. Ia menanamnya dari sisa apel yang dibuang oleh anak Tuan Suryo. Dia yang merawatnya. Ia sangat sayang padamu. Ia tahu kau sangat menyukai buah apel”

Bagaikan tersambar petir di siang bolong, tubuh wanita itu bergetar. Air matanya tak mampu dibendung lagi, mengalir deras. Tubuhnya melemas. Ia tersungkur persis di depan Dido.

“Baa.. Maa..”, ucap Dido menghampiri. Dijulurkannya buah apel yang baru dipetiknya. Dido tersenyum, manis sekali.

Tangis wanita itu semakin keras. Dipeluknya tubuh Dido. Ia masih bergetar.

Wanita itu tersadar. Sebagai seorang anak yang memiliki keterbatasan, Dido bukanlah seorang pencuri seperti yang ia kira. Dido bukan seorang pengecut. Keterbatasan ternyata tidak menghambat keinginannya untuk memetikkan buah apel, hadiah untuknya. Betapa bodohnya ia, tidak menyadari kesibukan Dido selama ini. Yang ia tahu, Dido hanya bermain dan terus bermain. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa Dido telah bersusah payah untuk menanamkan pohon apel untuknya.

Ia sangat menyesal dengan tindakannya. Sangat menyesal. Lihatlah. Dido masih mau dipeluknya. Ia masih mau tersenyum, bahkan kembali memetikkan buah apel untukknya. Padahal, luka di lengannya masih mengeluarkan darah. Perih sekali.

“Maaf sayang.. Maafkan Ibu.. Ibu sayang Dido..”, sesalnya.

“Tidak usah menangis. Lihatlah, Dido tidak suka dengan raut wajahmu yang terlihat sedih”, ucap pria itu. Dibopongnya tubuh wanita itu, bangun.

Ibu sayang Dido.. Ibu akan selalu menjaga Dido.. Sekuat Ibu.