Published Minggu, Februari 19, 2012 by

Ingatan Masa Lalu (bagian 1)

Sore itu, langit begitu gelap. Padahal jam masih menunjukkan pukul 16.30. Tapi, suasana sekitar perumahanku sudah tampak seperti malam. Dzaaar!! Terdengar suara petir menyambar dengan kerasnya. Tubuhku menggigil, takut. Ku raih selimut untuk menutupi wajahku. Namun, petir kembali menyambar. Yang ini lebih keras dari sebelumnya. Badanku seperti membeku. Padahal AC di kamarku sudah kumatikan. Terbayang kembali peristiwa sepuluh tahun lalu, peristiwa yang telah merenggut nyawa kedua orang tuaku.

Waktu itu, aku dan keluargaku hendak pergi ke Jakarta untuk berlibur. Tidak ada perasaan atau prasangka yang buruk akan hari itu. Sepanjang perjalanan, kami bercanda ria dan tertawa. Hingga akhirnya sebuah truk dari arah berlawanan hilang kendali sehingga menabrak bagian depan mobil kami. Aku yang masih berumur tujuh tahun hanya diam. Bibirku terasa kaku, aku ingin berteriak. Tapi tidak ada satupun kalimat yang keluar dari bibirku. Aku merasa takut, benar-benar takut saat itu.

Truk itu telah merenggut kebahagiaanku! Kebahagiaan kami! Tak henti-hentinya aku menangis ketika melihat kedua orang tuaku telah terbujur kaku. Aku memang masih sangat kecil waktu itu. Tapi aku tahu, kalau kedua orang tuaku kini telah meninggalkanku. Kedua kakakku sedang mengalami masa kritis. Aku sangat takut. Begitu takut. Apa yang harus aku lakukan jika aku nantinya tidak memiliki siapa-siapa lagi? Dengan siapa aku harus berbagi kisah? Tetapi, Allah masih baik padaku. Kedua  kakakku masih bisa diselamatkan walaupun kini kondisinya masih sangat parah.

Tapi aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Ah, andai saja waktu itu aku tidak memaksa ayah untuk berlibur ke Jakarta, pasti tidak akan begini jadinya. Sampai sekarangpun, jika aku kembali meningat akan kejadian itu, aku pasti akan menangis. Aku rindu, rindu sekali dengan kedua orang tuaku.

“Re, kamu kenapa?”, tanya kak Rian membuyarkan lamunanku.

“Rere takut kak, Rere takut.. Peluk Rere kak, peluk..”, jawabku sambil terus meringkuk di atas tempat tidurku. Aku masih merasa takut, kedinginan, dan badanku masih menggigil.

“Kamu keinget peristiwa itu lagi ya?”, tanya kak Rian lembut. Tangannya membelai rambutku.

“Iya kak.. Rere, Rere takut.. Rere juga kangen kak..”, jawabku. Air mataku terus saja mengalir di kedua pipiku. Kejadian itu, benar-benar terbayang jelas di pikiranku.

“Sabar sayang.. Udah ya? Nggak usah di pikirin lagi.. Udah adzan tuh, sholat dulu yuk?”, ajak kak Rian sambil menggapai tanganku, menyuruhku berdiri dengan lembut.

Setelah berwudhu, aku merasa lebih tenang. Badanku sudah berhenti menggigil walaupun aku masih merasa kedingingan. Dalam sujudku, aku menangis. Sampai saat kak Rian selesai berdoa, aku masih menangis. Berdoa untuk kedua orang tuaku agar mereka ditempatkan di sisi-Nya. Kak Rian yang melihatku menangis hanya bisa menatapku. Hatinya mungkin juga menangis.

Ku usap kedua air mataku. Ku tatap kak Rian yang sedang tersenyum di hadapanku.

“Mau baca Qur’an sayang? Biar hatimu lega..”, kata kak Rian sambil menyodorkan Al-Qur’an padaku.

“Iya kak..”, jawabku sambil meraih Al-Qur’an di tangan kak Rian. Kak Rian tersenyum.

“Yaudah, habis baca Qur’an, ke ruang makan ya?”
“Iya kak..”

Aku pun memulai membaca ayat demi ayat. Ku lantunkan bacaan-bacaan indah itu dengan sangat tenang. Ya, hatiku merasa jauh lebih tenang. Ku sempatkan pula membaca arti dari ayat-ayat yang telah ku baca tadi. Sungguh, aku menjadi sangat tenang. Aku bisa mengontrol emosiku sehingga tidak ada lagi air mata yang mengalir di kedua pipiku. Terima kasih Ya Allah, Engkau perkenalkan aku dengan ayat seindah ini, ucapku dalam hati.

Setelah melipat mukenah, sajadah, dan menaruh Al-Qur’an, aku pun keluar kamar menuju ruang makan. Di sana kak Rian sudah menungguku, begitu pula dengan istrinya. Ku lahap dengan perlahan makanan yang telah di sediakan. Alhamdulillah..

“Kak, aku mau sholat isya dulu ya. Habis itu aku mau langsung tidur..”, kataku sambil meraih peralatan makan yang ada di hadapanku.

“Kakak saja yang nyuci ya, kamu langsung sholat saja..”, katanya lembut sambil mengibas lembut kedua tanganku. Ku pandang kak Rian yang masih makan. Ia hanya mengangguk, lalu tersenyum. Ku balas senyumannya dan langsung mengambil air wudhu.

Selesai sholat, aku langsung membaringkan badanku di kasur. Capek rasanya mata ini setelah cukup lama menangis. Ku pejamkan kedua mataku. Namun, kejadian itu, kejadian sepuluh tahun lalu kembali merasuki pikiranku.

“Kaaaak.. Kak Riaaan!”, teriakku. Suaraku serak, mungkin karena aku menangis.
“Apa sayang? Kok teriak-teriak?”, tanyanya lembut sembari mengusap air mataku.
“Rere.. Takut lagi.. Kejadian itu.. Kejadian itu..”, jawabku sambil terus menangis.

“Yaudah sini sayang, malam ini kakak tungguin deh sampai Rere tidur. Tapi jangan takut lagi ya? Nggak ada apa-apa kok. Lagian ada kak Rian di sini..”, balas kak Rian menenangkanku. Ia tersenyum. Ku pandang dalam-dalam wajah Kak Rian. Tuhan, rasanya aku benar-benar tidak ingin berpisah dengan kak Rian. Seperti halnya Kau memisahkanku dengan kedua orang tuaku, batinku. Dan saat itu pula, air mataku mengalir kembali.

Malam itu, benar-benar malam yang menakutkan untukku. Petir menyambar dengan sangat kerasnya. Hujan pun turun dengan sangat derasnya, benar-benar deras. Mungkin, alam tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.


To be continued.