Published Minggu, Oktober 23, 2011 by

Hujan

Pagi ini aku merasa seperti sebuah robot. Ya, sebuah robot yang hanya bisa bergerak apabila diperintah oleh pemiliknya. Di kantor, aku hanya mengetik ulang naskah cerpen yang akan diterbitkan bulan depan. Padahal sebenarnya kerjaanku masih menumpuk. Entah mengapa saat ini aku malas untuk melakukan kegiatan apapun. 

Aku memandang kosong ke luar jendela. Di luar, hujan turun dengan sangat derasnya. Tampak beberapa pengojek payung cilik berlari kesana-kemari mengejar setoran. Mereka rela mandi hujan dan melawan dinginnya suasana saat itu hanya untuk mendapatkan uang seribu rupiah. Itupun kalau ada yang memberi, karena tak jarang setelah sampai ke tempat tujuan orang-orang itu akan langsung pergi tanpa mempedulikan mereka yang sedang menggigil kedinginan.

Sudah sekitar sejam lamanya hujan turun dengan derasnya. Namun belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku masih asyik melamun memandang suasana siang itu. Pikiranku campur aduk seperti gado-gado. Mataku seperti melihat dengan jelas peristiwa yang tidak asing bagiku, namun aku tidak pernah tahu tentang peristiwa itu. Dan tiba-tiba kepalaku terasa sakit, sangat sakit.

“Dian, kamu kenapa? Trus, kok tulisannya aneh gitu?”, tegur Syifa membuyarkan lamunanku.
“Ah.. Eh.. Iya maaf syif, aku lagi nggak konsen”, jawabku terbata-bata. Tangan kananku sibuk menghapus tulisan-tulisan “aneh” itu dengan tangan kiri tetap memegang kepala, menahan sakit.
“Kamu lagi sakit? Atau lagi ada masalah?”, tanya Syifa prihatin.
“Ah engga, aku cuma lagi nggak enak badan aja”, jawabku seraya meninggalkan Syifa yang heran dengan sikapku.
* * * * * *
Sore ini, aku dibebastugaskan dari segala macam pekerjaan di kantor karena kantor tempat aku bekerja akan direnovasi. Bukan gedungnya yang akan dibongkar, melainkan perabotannya akan diatur ulang agar menimbulkan isnpirasi dan suasana baru. Aku yang sedang menganggur menghampiri mama yang sedang asyik membaca novel di halaman belakang.

“Ma, kemarin peristiwa aneh itu datang lagi ke pikiranku. Tapi kali ini beda, aku seperti melihat dua mobil yang saling bertabrakan. Penumpangnya tidak ada yang selamat kecuali seorang anak perempuan. Umurnya kira-kira 9 tahun gitu. Serem deh ma..”, kataku sambil memperagakan kejadian itu dengan kedua tanganku. Mama hanya melirik, lalu melanjutkan membaca novelnya. 

“Idih mama aku kan lagi cerita, masa nggak didengerin gitu sih?”
“Mama bosan mendengar kamu bercerita khayalan-khayalan itu setiap hari. Sudahlah!”

Setelah menaruh kembali novel yang tadi dibacanya, mama bergegas menuju kamarnya. Mama tidak menghiraukanku yang terus memanggilnya. Sebenarnya aku merasa sedikit curiga dengan sikap mama akhir-akhir ini. Sekalipun karena memang ia menganggap cerita-ceritaku itu hanya sebuah khayalan, tidak seharusnya ia bersikap dingin seperti ini setiap kali aku memulai cerita tentang hal itu.

Karena saking penasarannya, ku hampiri mama yang entah sedang melakukan apa di kamarnya. Tok.. Tok.. Tok.. Ku ketuk pintu kamar mama perlahan, takut mengganggu.

“Siapa?”, tanya mama dari dalam kamar. Suaranya terdengar lirih.
“Dian ma.. Boleh Dian masuk?”
“Boleh nak..”

Ku buka pintu kamar mama perlahan. Astaghfirullah.. Ternyata mama sedang menangis. Aku tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi dengan mama. Padahal, tadi ia bersikap biasa saja, hanya mungkin kesal dengan ceritaku. Tapi aku tidak menyangka kalau mama sampai menangis seperti ini.

“Mama kenapa?”
“Mama nggak papa nak..”
“Mama harus cerita.. Mama kenapa?”
Mama terdiam. Mungkin ia sedang memikirkan harus darimana ia bercerita. Aku melihatnya dengan prihatin.
“Maafkan mama nak.. Maafkan mama..”
“Emang kenapa ma? Mama nggak salah apa-apa kenapa harus meminta maaf?”
“Sebenarnya..”

Mama mulai menceritakan peristiwa yang mirip dengan peristiwa yang sering muncul tiba-tiba di pikiranku. Ternyata, gadis kecil yang selamat dalam peristiwa itu adalah aku sendiri. Ya, peristiwa yang sering muncul dipikiranku mungkin adalah sisa-sisa ingatan tujuh tahun yang lalu, saat aku masih berumur sembilan tahun. Dan pada kenyataannya kini aku bukan anak kandungnya.

Aku menangis, benar-benar menangis. Air mataku keluar dengan derasnya tanpa bisa dibendung lagi. Sebenarnya aku marah, sangat marah dengan mama yang menyembunyikan ini semua dariku. Namun aku tidak terlalu lama memendam amarah itu. Aku cukup sadar bahwa mama adalah satu-satunya orang yang mau merawatku sejak peristiwa tragis itu terjadi.

“Dian.. Kamu nggak marah sama mama kan?”
Tanpa menjawab pertanyaan itu, aku langsung memeluk mama sekencang-kencangnya.

Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan menyakiti mama dan akan menjaga mama seperti mama menjagaku.